The Birth of I La Galigo (I La Galigo Lahir), oleh Muhammad Salim, Sapardi Djoko Damono and John H McGynn
Buku ini menjadi
pengantar saya untuk menjelaskan mitos kuno dari Indonesia. Inilah pilihan grup
buku Indonesia untuk bulan ini, dan berikut adalah ulasannya:
I La Galigo,
mitos epik Bugis yang amat tebal, adalah salah satu karya paling panjang dalam
sastra dunia. Berlatar di Luwuq, tempat lahirnya budaya Bugis, siklus tersebut
menceritakan kisah awal tempat tinggal para dewa dan keturunan mereka di bumi.
"The Birth of La Galigo", sejumlah puisi yang ditemukan di sini,
mencoba menceritakan kembali kisah salah
satu bagian epik secara kontemporer.
Wikipedia
menjelaskan:
Sureq Galigo
atau La Galigo adalah mitos penciptaan epik orang Bugis dari Sulawesi Selatan,
ditulis dalam bentuk manuskrip antara abad ke-18 dan ke-20 dalam bahasa
Indonesia Bugis, berdasarkan tradisi lisan sebelumnya. La Galigo telah dikenal
oleh khalayak secara luas terutama melalui adaptasi teater I La Galigo oleh
Robert Wilson. (Wikipedia, diedit untuk menghapus sebagian besar tautan,
dikunjungi 13/4/19)
(Hal yang
sangat menyenangkan dari edisi Yayasan Lontar ini adalah bahwa edisi ini
menyertakan dua halaman B&W yang masih berasal dari pertunjukan teater guna
mengilustrasikan adegan dari cerita tersebut. Anda dapat melihat beberapa
gambar di sini.)
Menarik bukan,
bahwa kita mengetahui mitos-mitos kuno Yunani dan Roma, dan kita akan semakin
sering menjumpai kisah-kisah kuno masyarakat kita yang sebenarnya, tetapi kita
cenderung tidak mengetahui cerita-cerita negara tetangga dekat kita? Menyedihkan
rasanya, padahal La Galigo adalah kisah yang luar biasa. Seperti yang
dijelaskan pada bagian pendahuluan, epik ini terdiri dari sekitar 300.000 kata,
bahkan melebih panjang dari Mahabarata India (200.000 kata) dan Odyssey karya
Homer- namun bagian yang paling terkenal dan disenangi adalah kisah tentang
hubungan penuh gelora antara Sawérigading dan putri I Wé Cudai, penyatuan yang pada
akhirnya melahirkan pahlawan I La Galigo.
Kisah ini
dimulai dengan penciptaan dunia, yang seperti dalam mitos klasik lainnya,
terdiri dari Langit, Bumi, dan Dunia Bawah. Penciptaan manusia untuk menghuni
bumi terjadi karena permintaan Botilangi yang ditantang untuk mengakui
kebenaran mendasar: bahwa dewa butuh orang-orang untuk menyembah mereka.
After a
moment’s silence,
the King of
Destiny conferred with his consort,
‘What do
you think of this idea, Datu Palingé?
What if we
settled our children there,
encouraged
them to plant their roots on earth,
to give
that barren place inhabitants?
Can we call
ourselves gods at all
if there is
no one in the land beneath the sky
to worship
us as gods?’ (p.11)
(Sajak ini
diterjemahkan oleh John H McGlynn yang diterbitkan halaman demi halaman dengan
puisi berbahasa Indonesia oleh Sapardi Djoko Damono, yang berasal dari versi
asli Bugis yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Muhammad Salim.)
Jadi Dewa kemudian
mengirim Batara Guru ke Mayapada untuk menciptakan dan menguasai dunia dan
sesuai dengan keputusan Sang Pencipta, dia menikahi sepupunya Wé Nyilik Timo
dari Dunia Bawah sehingga mereka dapat memiliki keturunan. Tiga bulan kemudian
kita tahu bahwa si kembar yang diprediksi sedang dalam perjalanan karena dia
mengidam sesuatu yang tidak biasa:
So many
things she craved:
two-headed
deer from Botillangi,
fleet-footed
mousedeer from Senrijawa,
tanri
flowers with roots growing in Heaven
and blooms
draping into the Lower World,
twin
coconuts from the sky’s edge,
rose apples
from the spirit world,
ring-necked
deer from Botillangi,
nutmeg from
Ternate,
and deadly
fish with dagger spurs from Heaven. (p.37)
Batara
mengirim Ladunrusséreng, raja semua unggas dan semua burung di negeri
itu untuk mengambil tuntutan ini dengan mengancam akan menumbuk mereka menjadi
tepung / jika mereka diperlambat oleh angin yang paling kuat sekalipun.
Ketika si
kembar lahir, anak laki-laki itu datang dengan membawa belati emas dan pakaian
perang, sedangkan saudara perempuannya berpakaian sebagai pendeta wanita. Dan
sesuai dengan ketetapan Sang Pencipta, mereka langsung berpisah agar tidak
saling jatuh cinta. Tapi tentu saja, seperti dalam semua mitos seperti ini, hal
yang tak terhindarkan selalu terjadi, lalu Sawérigading jatuh cinta pada
saudara perempuannya Wé Tenriabeng, segera setelah dia dewasa dan menatapnya.
Tidak mungkin, dia kemudian diberitahu, dengan tegas dan disertai ancaman
kekeringan dan kelaparan jika dia melanggar aturan, dia setuju untuk pergi
mencari wanita cantik yang mirip dengan saudara perempuannya.
Tentu saja,
ada kesulitan yang harus dihadapi: sebuah pohon yang hanya bisa ditebang dengan
kapak dari surga, dengan kayu yang hanya bisa dirakit menjadi armada kapal di
Dunia Bawah. Lalu ada tujuh musuh yang akan diberangkatkan, termasuk tunangan
wanita yang dicarinya. Namun sialnya bagi Sawérigading, setelah semua yang dia
tanggung, putri I Wé Cudai tidak menyukainya. I Wé Cudai tidaksengaja mendengar
sejumlah wanita bergosip tentang Sawérigading:
“Our lady
will suffer greatly
if forced
to lie with a man not of this country,
to bed with
a seaman with so much body hair
you could
braid his back
or use it
as tinder to start a fire. (p.89)
Dan dia
memberi tahu ayahnya bahwa dia lebih suka pengasingan/atau bahkan, kematian!
daripada harus menikah dengan Sawerigading. Ayahnya mengembalikan hadiah
pernikahan, yang (tidak mengejutkan) menyinggung calon pengantin pria:
He looked
as if he would explode,
felt as if shards
of glass were in his eyes,
such was
the feeling in his heart.
Like a wave
striking the shore,
his
response was immediate,
ordering
his men to rip out the stakes
and tear
down the wall now encircling the town.
They then
set fire to the place
and very
soon the town was in flames. (p.91)
Kerabat I Wé
Cudai menuntut perdamaian dan pernikahan yang tidak diinginkan pun sebagai
bentuk pemaafan Sawerigading. Akan tetapi, tetap saja, I Wé Cudai menetapkan
beberapa persyaratan yang tegas, seperti hanya di dalam ruangan yang gelap
gulita, di atas tempat tidur yang dikelilingi oleh tujuh lapis kelambu,
dikelilingi oleh tujuh dinding, dan dijaga oleh tujuh pejabat istana,
Sawérigading pun mampu memenuhi keinginan hatinya ...
Hingga
akhirnya dia mengidam-dan pada saat itu terasa amat berbeda!
So many
things did she desire:
twin
coconuts from a distant shore;
hearts of
gnats from Uriliu at the bottom of the sea;
mosquito
bellies and fish from the Lower World;
and tanri
flowers that grow in the Kingdom in the Sky. (p.99)
(Seperti
sebelumnya, dan di bawah tekanan yang sama, burung keluar untuk mengambil semua
ini.)
Sawérigading sangat
senang saat anak itu lahir, parasnya begitu mirip dengan ayahnya yang tampan.
Sayangnya, I Wé Cudai tidak bersikap keibuan ketika Galigo lahir.
“Put him
inside a broken cooking pot
and place
him on a raft.
Set the
raft adrift in the river
and let it
be taken away downstream.
He must not
be the heir to Luwuq’s throne;
he shall
not stay in this palace.
His wailing
is misery to my ears!” (p.105)
Selain itu,
Sawérigading juga memiliki selir yang bertugas untuk mengasuh anaknya!
Produksi I La
Galigo oleh Robert Wilson telah dilakukan di seluruh dunia, termasuk di
Melbourne International Festival pada tahun 2006. Anda dapat melihat video
singkat dari pertunjukan tersebut di sini.
Penulis:
Muhammad Salim, Sapardi Djoko Damono dan John H McGlynn
Judul: The
Birth of I La Galigo (I La Galigo Lahir)
Penerbit: The
Lontar Foundation, 2013, 117 halaman, pertama kali diterbitkan pada tahun 2005
ISBN:
9786029144338
Sumber:
Salinan pribadi, dibeli di Indonesia untuk grup buku kami oleh Halina - terima
kasih banyak, Halina!
Post a Comment: